Wacana Sekolah 5 Hari Diprotes FKDT Purworejo Sebut Anak Bisa Kehilangan Waktu Belajar Agama
Pemerintah kembali menggulirkan wacana penerapan sistem sekolah lima hari dalam sepekan untuk tingkat pendidikan
dasar dan menengah. Wacana ini sontak menimbulkan pro dan kontra di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Salah satu penolakan datang dari Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kabupaten Purworejo
yang menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi waktu anak-anak untuk belajar agama di madrasah diniyah.
FKDT menilai, jika anak-anak hanya masuk sekolah selama lima hari, maka waktu luang di hari Sabtu tidak otomatis digunakan untuk kegiatan religius.
Sebaliknya, ada kekhawatiran bahwa mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan non-produktif
seperti bermain gadget, nongkrong, atau aktivitas lain yang kurang mendukung pembentukan karakter.
Wacana Sekolah 5 Hari Diprotes FKDT Purworejo Sebut Anak Bisa Kehilangan Waktu Belajar Agama
Ketua FKDT Purworejo menyampaikan bahwa sebagian besar siswa sekolah dasar dan menengah di kabupaten
tersebut mengikuti kegiatan madrasah diniyah (madin) pada sore hari, terutama di hari Sabtu Madrasah
diniyah berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai keislaman, membaca Al-Qur’an, akhlak, fiqih, hingga sejarah Nabi.
Dengan sistem lima hari sekolah, dikhawatirkan para siswa akan kelelahan karena pulang sekolah lebih sore dari biasanya.
Hal ini dapat mengurangi partisipasi mereka dalam kegiatan madin. “Jika sekolah selesai pukul 15.00 atau lebih, kapan anak-anak akan punya waktu dan energi untuk ngaji di madin?” ujar Ketua FKDT.
Kekhawatiran Akan Degradasi Moral Anak
FKDT menegaskan bahwa pembelajaran agama di luar jam sekolah formal sangat penting dalam menghadapi tantangan moral dan sosial zaman sekarang. Di tengah derasnya arus digital, media sosial, dan gaya hidup instan, madrasah diniyah menjadi benteng moral yang melengkapi pendidikan di sekolah umum.
Banyak orang tua di desa-desa menggantungkan pendidikan agama anaknya pada madrasah diniyah. Mereka tidak semuanya mampu memberikan pendidikan agama secara intensif di rumah karena kesibukan pekerjaan. Dengan demikian, FKDT menyuarakan bahwa menghapus atau melemahkan peran madin justru dapat memperlemah pondasi akhlak generasi muda.
Perlu Sinergi, Bukan Penghapusan
FKDT menekankan bahwa pihaknya tidak anti terhadap perubahan sistem pendidikan. Namun, perubahan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap sistem sosial dan budaya yang telah berjalan puluhan tahun. Mereka mendorong pemerintah untuk mengajak dialog semua pihak, termasuk pengelola pendidikan agama nonformal seperti madin.
“Yang kami minta bukan sekadar mempertahankan hari Sabtu bebas sekolah, tetapi bagaimana pemerintah bisa memberi ruang agar pendidikan agama nonformal tetap hidup dan berkembang,” jelas salah satu pengurus FKDT.
Beberapa opsi yang diusulkan antara lain adalah menyesuaikan jadwal pulang lebih awal, memberi fleksibilitas daerah untuk menentukan kebijakan sendiri, hingga memasukkan kegiatan diniyah ke dalam struktur kurikulum lokal.
Respon Pemerintah Daerah Masih Beragam
Menanggapi hal ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo menyatakan bahwa wacana lima hari sekolah masih dalam tahap evaluasi dan belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Pihaknya memahami keberatan yang muncul dari masyarakat, terutama dari lembaga keagamaan seperti FKDT.
“Prinsipnya, kami akan menyesuaikan kebijakan pusat, namun dengan pendekatan lokal yang mempertimbangkan kondisi sosial budaya di masyarakat,” ujar perwakilan dinas.
Kesimpulan: Pendidikan Umum dan Agama Harus Seimbang
Protes FKDT Purworejo terhadap wacana sekolah lima hari menjadi pengingat bahwa sistem pendidikan tidak bisa hanya dilihat dari sisi akademik semata.
Pendidikan agama, karakter, dan moral yang diperoleh dari madrasah diniyah juga memiliki kontribusi besar dalam membentuk generasi muda Indonesia yang utuh.
Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan diharapkan bisa mencari solusi win-win agar pendidikan formal dan nonformal bisa berjalan beriringan
tanpa saling mengorbankan. Sistem yang baik adalah sistem yang berpihak pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakatnya.
Baca juga: Pesawat Batik Air Mendarat Miring, Ini Kata Manajemen