Kala Bos BGN Singgung Timnas yang Sulit Menang Gara-gara Masalah Gizi
Jakarta, 23 Maret 2025 – Tim nasional sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun kerap menjadi sorotan karena performa yang dinilai kurang konsisten. Di balik sorotan terhadap strategi permainan, pelatih, dan manajemen PSSI, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana memberikan pandangan berbeda: masalah gizi adalah akar dari performa yang menurun.

Dalam sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan di Pendopo Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Dadan menegaskan bahwa kualitas gizi masyarakat Indonesia, termasuk para calon atlet sejak usia dini, sangat memengaruhi performa fisik dan stamina mereka saat dewasa—termasuk dalam dunia olahraga profesional.
Gizi Buruk, Akar Masalah Performa Atlet
“Jangan heran kalau PSSI sulit menang karena main 90 menit itu berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus dan banyak pemain bola lahir dari kampung,” ujar Dadan.
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Ia menyoroti fakta bahwa banyak anak-anak dan remaja Indonesia, terutama dari keluarga miskin dan rentan, tumbuh dengan asupan gizi yang tidak seimbang. Hal ini berdampak langsung pada perkembangan otot, ketahanan tubuh, hingga kemampuan konsentrasi—semuanya merupakan komponen penting dalam performa seorang atlet.
Olahraga Bukan Sekadar Latihan
Lebih lanjut, Dadan menjelaskan bahwa olahraga, terutama di level profesional seperti timnas, bukan hanya soal latihan rutin di lapangan. “Olahraga bukan hanya soal latihan semata, tetapi juga soal kecerdasan dalam bermain dan membaca permainan lawan,” tegasnya.
Dengan gizi yang kurang baik, tidak hanya kemampuan fisik yang terdampak, tetapi juga aspek kognitif dan mental. Pemain yang kekurangan zat besi, misalnya, bisa mengalami penurunan fokus dan stamina. Begitu juga dengan kekurangan protein yang berdampak pada massa otot dan kekuatan.
Kala Bos BGN Singgung Timnas yang Sulit Menang Gara-gara Masalah Gizi
Sebagai bentuk intervensi konkret, pemerintah melalui Badan Gizi Nasional meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan bagi anak-anak sejak dalam kandungan hingga usia SMA. Program ini diyakini mampu membangun fondasi generasi muda yang lebih kuat secara fisik dan mental.
“Melalui MBG, kita berharap bayi, balita, anak SD hingga SMA mendapat asupan gizi yang baik agar mereka kelak tumbuh menjadi tenaga kerja produktif dan juga, kalau mereka masuk dunia olahraga, memiliki daya saing tinggi,” jelas Dadan.
Data Pertumbuhan Penduduk dan Risiko Masa Depan
Dadan juga mengaitkan masalah gizi ini dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat pesat. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 280 juta penduduk, dan diprediksi mencapai 324 juta pada 2045, tepat 100 tahun Indonesia merdeka.
Ironisnya, sebagian besar pertumbuhan ini datang dari keluarga miskin dan rentan miskin. Berdasarkan data BGN:
-
Dari 100 keluarga miskin, 78 memiliki tiga anak, dan 12 memiliki dua anak.
-
Dari 100 keluarga rentan miskin, 50 punya tiga anak, dan 50 punya dua anak.
-
60 persen anak dari kelompok ini tidak pernah melihat menu gizi seimbang.
Dadan mengungkapkan bahwa bagi banyak keluarga, makanan utama sehari-hari hanyalah nasi, bala-bala, mi atau bihun, kerupuk, dan kecap. Semua makanan ini dominan karbohidrat, minim protein dan nutrisi penting lainnya.
“60 persen dari anak kelompok ini tidak pernah minum susu bukan karena tidak mau, tapi karena tak mampu,” tegas Dadan.
Dampaknya Langsung ke Dunia Olahraga
Kondisi ini, menurut Dadan, turut berdampak pada kualitas atlet yang lahir dari kelompok masyarakat miskin. Banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan akses makanan bergizi sejak kecil, sehingga saat dewasa, mereka menghadapi keterbatasan fisik yang tidak bisa ditutupi dengan latihan semata.
Ini pula yang menjadi alasan mengapa banyak pemain sepak bola Indonesia kesulitan bermain optimal selama 90 menit. Mereka cepat lelah, mudah cedera, dan kalah dalam duel fisik dengan lawan dari negara-negara dengan sistem gizi nasional yang lebih baik.
Baca juga:Erick Bertemu Presiden FIFA, Sorot Transformasi Sepak Bola
Gizi dan Kinerja Otak: Kunci Strategi Bermain
Selain stamina, Dadan menekankan pentingnya kecerdasan bermain dalam sepak bola modern. Strategi permainan, pengambilan keputusan cepat, hingga kemampuan membaca pergerakan lawan sangat bergantung pada fungsi otak yang optimal—yang tak lepas dari dukungan gizi.
Nutrisi seperti asam lemak omega-3, zat besi, vitamin B kompleks, dan protein adalah elemen penting untuk mendukung fungsi kognitif pemain sepak bola. Tanpa ini, seorang pemain mungkin secara teknik bagus, tapi gagal tampil maksimal di lapangan.
Tanggapan Publik dan Pakar
Pernyataan Dadan memancing berbagai reaksi di masyarakat. Sebagian besar menilai langkah MBG sebagai inisiatif positif dan visioner, terutama jika dilaksanakan secara konsisten hingga ke daerah pelosok.
Namun ada pula yang mengkritik bahwa masalah gizi seharusnya sudah ditangani jauh sebelum bicara soal prestasi olahraga, dan mempertanyakan efektivitas program yang selama ini dijalankan pemerintah.
Pakar gizi olahraga dari Universitas Indonesia, Dr. Rahmawati, menyatakan bahwa pernyataan Dadan memang memiliki dasar ilmiah yang kuat. “Stamina dan kekuatan pemain sangat ditentukan oleh asupan gizi mereka sejak kecil. Kalau dari kecil kekurangan nutrisi, itu akan terbawa hingga dewasa,” ujarnya.
Momen Tepat untuk Perbaikan Ekosistem Atlet Nasional
Dengan munculnya wacana ini dari lembaga negara, publik berharap masalah gizi masuk dalam prioritas pembinaan atlet nasional, termasuk dalam sistem pencarian bakat.
Saat ini, banyak pemain muda bertalenta berasal dari latar belakang keluarga sederhana. Jika negara bisa hadir sejak mereka usia dini, maka ekosistem pembinaan atlet Indonesia bisa jauh lebih kuat dan berkelanjutan.
Kesimpulan: Prestasi Butuh Asupan, Bukan Cuma Latihan
Pernyataan Dadan Hindayana menjadi pengingat penting bahwa prestasi tidak datang hanya dari strategi atau latihan di lapangan. Fondasi paling dasar adalah gizi yang cukup sejak masa tumbuh kembang. Tanpa ini, talenta terbaik pun bisa gagal bersinar.
Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa menjadi solusi jangka panjang bukan hanya untuk kesehatan masyarakat, tapi juga untuk prestasi bangsa di bidang olahraga. Jika dijalankan dengan serius, bukan tidak mungkin generasi emas 2045 akan terdiri dari atlet yang tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga cerdas dan penuh daya saing di level internasional.