Puluhan Siswa SD Belajar di Bawah Pohon Sawit di TNTN Pelalawan
Potret miris dunia pendidikan kembali terjadi di Indonesia. Puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Pelalawan, Riau, harus belajar di bawah rindangnya pohon
sawit karena tidak memiliki bangunan sekolah yang layak. Fenomena ini terjadi di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yang jauh dari akses infrastruktur dan perhatian pemerintah.
Belajar di Alam Terbuka, Karena Tak Ada Pilihan
Setiap pagi, siswa-siswi dari Dusun Air Hitam, Kecamatan Ukui, berjalan kaki atau diantar orangtua menuju lokasi “kelas darurat” mereka—sepetak lahan kebun sawit yang telah dibersihkan sebagian.
Di sanalah proses belajar mengajar berlangsung, hanya beralas tikar plastik dan meja kayu seadanya.
Kegiatan ini berlangsung sejak lebih dari dua tahun terakhir karena bangunan sekolah yang dijanjikan pemerintah belum juga terealisasi.
Para guru dan orangtua berinisiatif membuat ruang belajar terbuka agar anak-anak tetap bisa mengenyam pendidikan meski dalam keterbatasan ekstrem.
“Sambil belajar, kami juga harus hati-hati. Kalau hujan, ya bubar. Kalau panas, ya kepanasan. Tapi anak-anak tetap semangat,” kata Bu Santi, salah satu guru honorer yang mengajar di lokasi tersebut.
Kondisi Fasilitas yang Sangat Terbatas
Tak hanya ruangan, sarana pendukung seperti papan tulis, buku, dan alat tulis pun sangat minim. Beberapa siswa hanya membawa buku catatan dan pensil bekas.
Papan tulis kecil digunakan bergantian, dan sebagian pelajaran ditulis di tanah menggunakan ranting kayu.
Meski berada di tengah perkebunan sawit, lokasi tersebut sebenarnya masih masuk wilayah taman nasional. Ini menjadi tantangan tersendiri karena status lahan membuat pembangunan sekolah permanen menjadi rumit secara hukum dan administratif.
“Anak-anak belajar dengan penuh semangat, tapi fasilitasnya jauh dari layak. Mereka butuh perhatian serius dari pemerintah,” ungkap Pak Mardiono, tokoh masyarakat setempat.
Harapan yang Tak Kunjung Datang
Warga dan para guru sudah berkali-kali mengajukan permohonan pembangunan sekolah resmi ke dinas pendidikan kabupaten
namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang berarti. Beberapa pejabat pernah datang meninjau, tapi tidak ada kepastian kapan gedung sekolah akan dibangun.
Padahal, pendidikan dasar adalah hak semua anak di Indonesia, termasuk mereka yang tinggal di kawasan terpencil seperti TNTN.
Anak-anak ini bukan hanya belajar ilmu akademik, tapi juga belajar bertahan dalam kondisi yang keras dan tidak adil.
“Kadang iri lihat di TV, anak-anak sekolah pakai seragam rapi dan duduk di kelas yang dingin. Kami cuma bisa belajar di bawah pohon,” kata Arif, salah satu siswa kelas 5.
Perjuangan Guru Honorer yang Tak Mengenal Lelah
Para guru yang mengajar di tempat ini sebagian besar adalah honorer yang dibayar dengan dana swadaya masyarakat atau kadang tidak dibayar sama sekali. Mereka mengajar dengan sepenuh hati, tidak hanya memberikan pelajaran, tapi juga menjadi motivator bagi anak-anak.
Mereka berharap perjuangan ini suatu hari akan membuka mata pemerintah dan publik akan pentingnya pemerataan akses pendidikan, tak peduli di mana pun lokasinya.
“Kami bukan menuntut gedung mewah, hanya ruangan yang layak agar anak-anak tidak belajar di bawah ancaman cuaca dan binatang hutan,” ujar Bu Santi.
Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Pendidikan di Daerah Terpencil
Kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi. Banyak wilayah di Indonesia yang mengalami nasib serupa: akses sulit, fasilitas minim, dan perhatian pemerintah yang sangat terbatas. Padahal, konstitusi menjamin pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah lebih responsif terhadap kondisi pendidikan di pelosok negeri. Tak hanya dengan retorika dan kunjungan seremonial, tapi dengan langkah nyata seperti pembangunan gedung sekolah, pengangkatan guru tetap, dan penyediaan sarana pembelajaran.
Penutup: Belajar di Tengah Keterbatasan, Tapi Tak Kehilangan Harapan
Anak-anak di TNTN Pelalawan membuktikan bahwa semangat belajar tidak mati meski dibelenggu keterbatasan.
Di bawah rindangnya pohon sawit, mereka menulis mimpi-mimpi mereka—tentang menjadi guru, dokter, bahkan presiden.
Kita mungkin tak bisa langsung mengubah nasib mereka, tapi suara dan perhatian kita bisa jadi langkah awal untuk mendorong perubahan.
Karena setiap anak Indonesia berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik—tak peduli di mana mereka lahir dan tinggal.
Baca juga: EkonomiDPR Soroti Anggaran Pendidikan Tak Pernah Capai 20% dari APBN